Text
Supreme Command: Soldiers, Statesmen, and Leadership in Wartime
This book explores the complex relationship between civilian leaders (statesmen) and military commanders (soldiers) during wartime, particularly within democratic nations. Cohen argues that civilian leaders should play an active and continuous role in shaping military strategy, rather than merely setting objectives and leaving execution to the military.
The author analyzes four case studies of wartime leadership:
Abraham Lincoln (United States, Civil War),
Georges Clemenceau (France, World War I),
Winston Churchill (United Kingdom, World War II), and
David Ben-Gurion (Israel, 1948 Arab-Israeli War).
Cohen challenges Samuel P. Huntington’s “normal theory” of civil-military relations, which holds that civilian authorities should refrain from direct interference in military operations. Instead, Cohen presents the concept of the “unequal dialogue,” where effective civilian leaders constantly engage, question, and even override military advice when necessary to align battlefield actions with political aims.
Across all four examples, successful leaders shared a common trait: they learned the art of war themselves. They immersed in strategic details, understood logistics, technology, and morale, and possessed the courage to confront and guide their generals rather than deferring entirely to them.
The book concludes that successful wartime leadership in democracies relies not on a rigid division of authority, but on a dynamic interaction between political vision and military professionalism. A passive civilian leadership or an unchecked military command both risk strategic failure.
Key contributions of the book:
Provides a historical and theoretical framework for understanding civil-military relations in democratic governance.
Demonstrates how strong civilian involvement can improve strategic coherence and accountability in wartime decision-making.
Offers broader lessons on leadership under pressure, applicable beyond military contexts — emphasizing the value of informed oversight, strategic dialogue, and moral courage.
Buku ini menelaah hubungan antara pimpinan sipil (statesmen) dan komandan militer (soldiers) dalam konteks peperangan demokrasi — khususnya bagaimana pemimpin politik dapat dan memang harus berperan aktif dalam pengambilan keputusan strategis perang, bukan sekadar menetapkan tujuan dan kemudian “menyerahkan” pelaksanaannya ke militer.
Hoover Institution
Cohen memilih empat tokoh utama sebagai studi kasus: Abraham Lincoln (AS, Perang Saudara), Georges Clemenceau (Prancis, Perang Dunia I), Winston Churchill (Britania Raya, Perang Dunia II) dan David Ben‑Gurion (Israel, Perang Arab-Israel 1948).
Penulis mengkritisi teori “normal” tentang hubungan sipil-militer yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, yakni bahwa pemimpin sipil hanya menetapkan sasaran perang, kemudian membiarkan militer menjalankan operasi secara independen. Cohen berargumen bahwa dalam praktek historis, pemimpin sipil yang sukses dalam perang seringkali secara aktif terlibat dalam operasi militer: memilih dan mengganti komandan, memaksa dialog yang tak setara (“unequal dialogue”) dengan para jenderal, serta secara konsisten mengevaluasi dan mengintervensi agar strategi militer selaras dengan sasaran politik.
Keempat pemimpin yang ditelaah memiliki ciri-ciri bersama: mereka bukan hanya politisi yang mengawasi peperangan dari jauh, melainkan “belajar perang” sebagai profesi mereka sendiri — memahami teknologi, peta kekuatan, logistik, moral dan politik di balik konflik. Mereka berani menantang, memaksa analis dan militer mereka untuk mempertanggungjawabkan asumsi strategisnya.
Barnes & Noble
Buku ini menyimpulkan bahwa efektivitas kepemimpinan perang dalam demokrasi bukan semata tergantung pada keunggulan militer teknis atau keunggulan moral semata, melainkan pada sinergi antara kekuatan sipil dan militer—antara visi politik jangka panjang, kendali sipil yang aktif, dan profesionalisme militer yang efektif. Jika sipil terlalu “pasif” atau militer mendapatkan “kebebasan” absolut dalam perencanaan dan pelaksanaan tanpa pengawasan, maka risiko kegagalan meningkat.
Manfaat buku bagi pembaca:
Memberikan pemahaman mendalam tentang tantangan kepemimpinan perang di demokrasi — bukan hanya soal siapa yang bertempur, tapi siapa yang memutuskan dan mengapa.
Sebagai referensi untuk analisis hubungan sipil-militer, strategi nasional, dan implementasi kebijakan perang.
Relevan tidak hanya bagi sejarawan militer atau politisi, tetapi juga untuk manajer dan pemimpin organisasi di lingkungan yang penuh tekanan, karena analogi antara kepemimpinan sipil-militer dan pimpinan organisasional dapat ditarik. (lihat: “the art of a great leader is to push his subordinates to achieve great things”)
Bab I The Soldier and The Statesmen
Bab II Licoln Sends and Letter
Bab III Clemenceau Pays a Visit
Bab IV Churchill Asks a Question
Bab V Ben-Guirion Holds a Seminar
Bab VI Leadership Without Genius
Bab VII The Unequal Dialogue
Tidak tersedia versi lain